Tulungagung, Jurnalmataraman.com, Puluhan pengusaha gula merah di Tulungagung memilih untuk berhenti beroperasi. Hal ini disebabkan karena beban produksi dan harga penjualan gula merah tidak seimbang. Akibatnya pengusaha gula merah harus menelan kerugian setiap melakukan giling, (24/01/2023).
Salah satu pengusaha gula merah asal Desa Mirigambar, Kecamatan Kalidawir, Tulungagung, Wildan Farid menceritakan, usaha gula merah miliknya dirintis sejak 2014 silam. Dimana dalam sehari melakukan giling, pihaknya dapat mengahasilkan 2 ton gula merah.
“Biaya operasional untuk sekali giling mencapai Rp 15 Juta. Dan kami bisa mendapatkan keuntungan Rp 2 Juta per harinya,” tuturnya.
Wildan menjelaskan, di desanya terdapat 30 tempat usaha gula merah. Dimana setiap tempat usaha dapat menyerap 8 hingga 9 orang. Artinya adaya usaha gula merah dapat mempekerjakan sebanyak 240 warga sekitar.
“Dalam sekali giling kami membutuhkan satu truk tebu dengan harga Rp 6,6 Juta dan dapat menghasilkan gula merah sebanyak 2 Ton, dengan keuntungan Rp 2 Juta per harinya,” jelasnya.
Menurut Wildan, akan tetapi sejak 2021 lalu, pengusaha gula merah mengalami kendala cukup berat. Dimana kebutuhan bahan dasar serta operasional mengalami kenaikan cukup tinggi.
“Misalnya harga merang dari sebelumnya Rp 800 Ribu, kini naik menjadi Rp 2 Juta per truk. Belum lagi harga tebu dan perawatan mesinnya,” paparnya.
Disisi lain, harga gula merah sendiri tetap berada di Rp 8 ribu per kilogram. Tentu hal ini tidak dapat menutup biaya operasional produksi gula merah. Hal ini membuat pengusaha gula harus merugi.
“Saya sudah menutup usaha gula merah sejak 5 bulan lalu. Karena setiap produksi kami harus mengalami kerugian mencapai Rp 2 Juta tiap giling. Sedangkan jika untung, kami hanya bisa mendapatkan omset Rp 400 ribu setiap giling,” terangnya.
Wildan menambahkan, kondisi ini tidak hanya dialami tempat produksi gula merah miliknya saja. Akan tetapi dari 30 tempat produksi gula merah yang ada di desanya, mungkin yang masih bertahan hanya satu atau dua tempat produksi saja.
“Kalau tempat produksi gula merah dengan skala menengah lebih banyak memilih menutup usahanya, karena merugi ketika produksi. Tetapi jika tetap giling, biasanya adalah tempat produksi besar yang hanya mengambil keuntungan sedikit saja,” imbuhnya.
Dengan banyaknya tempat produksi gula merah tutup, membuat banyak warga kehilangan pekerjaan. Mereka saat ini memilih untuk bekerja di sawah, agar bisa menyambung hidupnya.