Trenggalek, jurnalmataraman.com – Bertempat di Ruang Cakra Pengadilan Negeri (PN) Trenggalek, sidang putusan terhadap terdakwa persetubuhan santriwati, Imam Safi’i alias Supar (52), yang merupakan pimpinan Pondok Pesantren, akhirnya digelar. Dalam sidang tersebut, terdakwa Supar terbukti melanggar Undang-Undang Perlindungan Anak dengan melakukan persetubuhan terhadap santriwati secara paksa hingga korban hamil.
Majelis hakim memutuskan untuk menjatuhkan pidana penjara selama 14 tahun dan denda sebesar Rp 200 juta yang dapat diganti dengan 6 bulan kurungan. Selain itu, hakim juga mewajibkan terdakwa untuk membayar restitusi sebesar Rp 106 juta kepada korban. Apabila terdakwa gagal membayar restitusi tersebut, jaksa akan menyita dan melelang harta benda milik terdakwa untuk mengganti kerugian korban.
Dalam putusan ini, hakim mempertimbangkan beberapa hal yang memberatkan, di antaranya terdakwa telah mencoreng nama baik lembaga pendidikan agama, menimbulkan penderitaan yang mendalam bagi korban, serta perbuatan terdakwa yang meresahkan masyarakat dan tidak menunjukkan penyesalan.
Juru Bicara PN Trenggalek, Revan Timbul Hamonangan Tambunan, menyatakan bahwa putusan ini merupakan hasil dari pertimbangan yang matang oleh majelis hakim. “Majelis Hakim hari ini sudah menjatuhkan putusan. Dari putusan yang sudah dibacakan, terdakwa Imam Syafii dinyatakan terbukti bersalah melakukan perbuatan pidana sebagaimana dalam dakwaan alternatif kedua. Jadi ada paksaan di sana. Terdakwa dijatuhi pidana penjara selama 14 tahun dan denda Rp200 juta subsider kurungan enam bulan,” ujar Revan Timbul Hamonangan.
Kuasa hukum terdakwa, Eko, mengungkapkan bahwa mereka masih berpikir selama beberapa hari untuk memutuskan akan menerima putusan hakim atau mengajukan banding. “Kami masih akan pikir-pikir dan akan berkoordinasi dengan keluarga beserta terdakwa, apakah akan mengajukan banding atau tidak, ditunggu saja nanti ke depannya,” ungkap Eko.
Sementara itu, kuasa hukum korban, Haris Yudianto, menilai bahwa putusan tersebut belum adil, mengingat dalam kasus serupa, pidana yang dijatuhkan jauh lebih tinggi dan dampak yang dialami korban sangat berat. “Jika dibandingkan dengan perkara lain memang merasa belum adil. Seperti kasus pencabulan di pondok Kecamatan Pule, terdakwa mendapatkan vonis 18 tahun dari tuntutan 17 tahun penjara,” kata Haris Yudianto.
Selain itu, kuasa hukum korban juga menyesalkan bahwa tuntutan restitusi sebesar Rp 245 juta hanya dikabulkan Rp 106 juta oleh majelis hakim. Meskipun demikian, mereka berjanji untuk terus memperjuangkan hak-hak korban dalam proses hukum ini.
Editor : Fikri Fadhlul Aziz
Ikuti WhatsApp Channel JTV Kediri dan dapatkan informasi terbaru dengan klik link berikut s.id/jtvkediriwa